Di masa kecil, saat pertama menyentuh benda bernama sepeda, kaki ini
gemetar. Gemuruh di dada tak tertahankan sementara kedua tangan
mencengkeram erat stang sepeda, padahal belum juga terkayuh pedal di
kaki. Kedua mata menatap tajam menunggu lengang sepanjang jalan tertatap
di depan, sebelum kayuhan pertama diayunkan. Satu kayuhan pun terayun,
dan... lutut memar, lengan berdarah, ditambah kening sedikit benjol
beradu kuat dengan aspal.
Menyerah? tentu tidak. Meski harus kembali terluka, menambah benjolan di
sisi lain kening, atau menutup luka kemarin dengan luka yang baru,
semangat tak pernah luntur demi bisa berdiri di atas sepeda roda dua.
Esok hari, tambah lagi luka baru, atau luka yang sama bertambah parah,
tetap saja terus berusaha mengayuh sepeda. Tiga kayuhan pertama, jatuh.
Esok mendapat tujuh kayuhan, kemudian jatuh. Sebelas kayuhan, jatuh lagi
dan seterusnya entah sudah keberapa ratus kali aspal jalan depan rumah
itu bersahabat dengan lutut, lengan, kening ini. Hingga akhirnya jalan
lurus, jalan terjal, mendaki dan turunan, hingga berlubang pun mampu
dilewati dengan lincah, cepat dan yang penting, tidak lagi jatuh.
Menanjak remaja, sepeda motor pun dijajal. Tak peduli meski orang tua
belum sanggup membelikannya, yang penting bisa dulu. Kali pertama
menunggang kuda besi itu, ladang orang pun menjadi tempat pendaratan
terbaik. Luka lama kembali terbuka, namun itu tak menyurutkan semangat.
Malu rasanya tak mampu mengendarai motor layaknya semua teman lelaki di
kampung. Bermodal semangat dan kepercayaan diri, ditambah sedikit gengsi
kelelakian, melajulah motor tanpa lagi tersuruk di kebun singkong, tak
lagi terparkir di tempat yang salah.
Di masa lalu, jatuh bangun pernah dialami. Sakit, luka, menangis,
berdarah-darah menjadi sahabat sehari-hari. Tapi sakit, luka, air mata
dan darah yang pernah menetes itu menjadi saksi bahwa semangat diri tak
pernah padam untuk meraih keberhasilan. Tak hanya semangat, cita-cita
untuk sekadar bisa melenggang mulus di atas sepeda atau motor yang
begitu kuat, membuat diri rela jatuh bangun dan terluka. Sebuah
pengorbanan yang harus dibayar.
Di masa lalu, kegagalan demi kegagalan pernah sangat rekat dengan diri
ini. Pernah juga beberapa kesuksesan menjadi bagian kehidupan, gerimis
hati ini saat menjalaninya. Jutaan jalan berlubang pernah terlalui,
beberapa kali terjerembab di dalamnya. Jalan gelap begitu sering harus
ditapaki, tak jarang menemui jalan buntu. Tak terbilang peluh saat
mendaki, sementara senang tak terkira ketika mendapati jalan menurun.
Yang membuat diri tak percaya, sungguh semuanya pernah dilalui.
Di masa silam, ada banyak sahabat baru berdatangan dan mengiringi
hari-hari penuh kehangatan. Tak berbeda masanya, beberapa sahabat pernah
pula meninggalkan diri, menjauh dan tak lagi pernah tahu gerangan
dirinya. Pilu ketika harus berpisah, haru saat berjumpa kembali. Begitu
banyak cinta bersemi, meski di waktu yang sama ada pula yang menabur
benci pada diri.
Ketika masih sama-sama di bangku pendidikan, bersama sahabat mengukir
mimpi. Melukis masa depan, membayangkan akan menjadi apa diri ini kelak,
usia berapa menikah, seperti apa pasangan hidup nanti, berapa banyak
anak yang dihasilkan, apa jenis kendaraan yang diinginkan, rumah sebesar
apa yang didambakan, berapa banyak yang diinginkan saat kali pertama
gajian, dan apa yang ingin dibeli dengan gaji pertama itu.
Waktu berlalu, mimpi terlewati, ada yang terwujud, tak sedikit yang
menguap bersama awan di langit. Lukisan masa depan semakin buram, tak
lagi jernih seperti saat pertama ditorehkan di atas kanvas harapan. Ada
yang menyesali langkah tak tepat yang pernah ditempuh, ada yang
mensyukuri karena tak selamanya apa yang dianggap benar, benar pula
menurut Sang Maha Berkehendak.
Kita memang tak pernah bisa tahu yang akan terjadi besok, tetapi kita
pernah punya masa lalu yang telah banyak memberi pengajaran. Kita pernah
jatuh, terpuruk, sedih, bahagia, manis, pahit, terbang, menangis,
tertawa, sendiri, bersama, di masa lalu. Sedangkan masa depan, kita
hanya bisa mengukirnya di dalam bingkai mimpi, hanya bisa mengira,
merencana dan merekayasa. Justru karena itulah, kita mesti belajar dari
masa lalu. Karena masa lalu telah pernah mengajarkan semuanya. Bercermin
dari masa lalu, agar rencana dan rekayasa untuk mimpi masa datang lebih
mendekati kenyataan.
Kontributor: Awal Moedzakir Awaludin@snsgroup.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar