Diambil dari Buku “Beo Berceloteh : Tuhan Seperti Aku” karangan A.H.
Dabana
Dalam kisah ini kuberi nama diriku sebagai ‘Aku’. Cerita bermula pada
suatu malam, aku pulang agak larut dari silaturahmi di rumah kawan.
Malam terasa agak aneh, bulu kuduk keseringan bergidik. Perlahan-lahan
ada orang yang menghadang di tengah jalan. Kelihatannya sih orang
baik-baik. Tetapi ketika berhadapan langsung, ternyata ia seorang pria
yang cukup simpatik. Anehnya, setiap melihat matanya, bulu kuduk selalu
berdiri. Mungkinkah siluman hantu, atau malakalamaut yang menyamar jadi
manusia.
Peristiwa ini agak aneh. Rasa-rasanya, kejadian seperti ini sudah
kualami sebanyak 3 kali sebelumnya. Ini yang keempat. Orang-orang angker
meski wajahnya ramah menawan, diajak berbicarapun mereka enggan
menjawab.
Keempat orang-orang ini wajahnya berbeda, tetapi sama simpatiknya. Yang
anehnya lagi aku tidak pernah bisa menceritakan peristiwa ini kepada
orang lain, sehingga hanya aku saja yang mengetahuinya.
Jika kuhitung-hitung, kedatangan keempat orang tersebut beraturan
lamanya. Kira-kira 40 hari muncul sekali. Ini adalah malam yang pertama
setelah 40 hari telah berlalu.
Kira-kira, 40 hari berikutnya mungkin ia akan datang lagi menemuiku,
demikian dalam benakku.
Setelah malam itu, hidupku terasa hampa tanpa tujuan lagi. Kadang-kadang
aku merasa tidak berpikir dalam bertindak, berangkat dari rumah ke
tempat kerja seperti ditiup angin saja. Benar-benar seperti kekosongan
pikiran. Shalat yang kukerjakan mirip seperti orang yang dibimbing, yang
searti dengan kata bukan kemauan sendiri, meski masih ada memori yang
mengingatkan tibanya waktu shalat.
Gejala sakit apa ini? Demikian dalam benakku.
Tujuh hari menjelang hari 40 yang kunanti itu, banyak sekali tamu yang
datang berkunjung ke rumahku. Mereka layaknya orang yang khidmat penuh
kedukaan, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang menegurku, hanya aku
tahu dalam hati bahwa mereka adalah tamu untukku.
Ketika tiba hari yang ke 40, pagi hari terasa seperti lebih terang tidak
biasanya. Rombongan tamu-tamu yang menungguku sejak seminggu lalu masih
ada di ruang tamu. . Tiba-tiba ada ketukan pintu yang samar, tapi
kenapa aku sendiri yang mendengarnya.
Lalu aku terbangun, tetapi kiranya orang yang mengetuk pintu rumah tadi
sudah berada di pintu kamar. Seketika melihat wajahnya, seketika itu
pula badanku gemetar tak kuasa digerakkan sedikitpun. Dalam hati ingin
rasanya lari menjauh, Karena yang datang ini adalah pembunuh. Semua
orang kelak pasti mengenalnya. Ketika ia tahu aku meronta, ia perlahan
mendekati dan berkata, “Kau sudah masanya tinggal di bumi ini. Izinkan
aku mengantarmu pulang. Bolehkah?”
Aku tidak dapat berkata apa-apa. Tetapi di benakku masih ada sesuatu
yang mengganjal, yaitu tiga orang anakku yang masih kecil-kecil..
Tiba-tiba, orang itu berkata lagi agak keras, “Lupakan itu, tinggalkan
saja.” Ketika ia selesai mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba aku
mengerti sesuatu yang entah siapa yang membisikkan. Bahwa “Itu hanya
akan membuatmu sakit bila roh dicabut.”
Lalu akupun menurut, dan mencoba melupakannya. Sesaat kemudian orang
tersebut sudah berada di atas kepala sekitar ubun-ubun. Kurasa dia
inilah yang dinamakan Malakalamaut. Tiba-tiba tubuhku seperti ditarik,
diperas, seperti dibuat memendek dari ujung kaki ke atas. Saat itu
seluruh tubuh seperti disayat dengan silet tajam. Semakin kucoba menahan
tarikan itu agar jangan terlepas, semakin sakit rasanya. Jika kutahan,
orang itu membentak, akhirnya tiada daya kecuali pasrah merelakan.
Sesaat kemudian, aku melihat diriku terkulai di ranjang seperti tertidur
pulas. Terlihat anak-anak dan istriku sedang mengerumuni dan menangisi
diriku yang sedang tertidur pulas. Bila kuperhatikan, aku seperti tidak
percaya bahwa yang tertidur itu adalah jasadku sendiri.
Beberapa waktu kemudian, terlihat rombongan orang mengantar mayat itu ke
kuburan. Perlahan mayat itu dibenamkan ke dalam tanah dan diurug
rapat-rapat kemudian diberi nisan. Jelas sekali di nisan itu tertera
namaku. Saat itu aku baru yakin seyakin-yakinnya, bahwa aku sudah mati
kini.
Selama mengikuti rombongan pengantar mayat itu aku ditemani oleh dua
‘orang’. Entah siapa mereka. Ketika rombongan itu sudah pulang semuanya,
kini giliranku disuruh masuk ke dalam kuburan itu. Sesaat kemudian,
tiba-tiba yang terlihat hanyalah ruangan kuburan yang tidak sempit
tetapi tidak pula terlalu luas.
Pertanyaan dalam kubur mulai dilontarkan, persis seperti dengan cerita
guruku waktu di dunia dulu.. Tapi kali ini yang menanyai diriku tidak
terlampau seram, cara bertanyanya juga biasa-biasa saja. Kupikir wajar,
sebab dulu waktu di dunia aku ini tidak banyak bertingkah, cukup rajin
shalat, puasa bila tiba masanya dan banyak lagi perbuatan baik yang aku
lakukan. Aku merasa perlakuan Malaikat Munkar Nakir ini seperti tahu
persis kelakuanku waktu di dunia dulu.
Setelah pertanyaan itu selesai, pintu-pintu dalam kubur mulai terkuak.
Sepertinya bukan tempat penantian yang menyiksa, hanya saja terdapat
keterbatasan bergerak atau berbuat sesuatu. Ketika hal itu kutanyakan
pada petugas yang ada dalam kubur, mereka menjawab,”Meski anda dulunya
taat beribadah tetapi anda kurang ikhlas dan terkesan riya’. Makanya
anda diperlakukan seperti itu di tempat ini. Coba kalau anda beribadah
semata ikhlas karena Allah, tempat anda seperti itu”, sambil penjaga itu
menunjuk ke belakang. Ketika aku menoleh, ternyata di sana ada seorang
pria yang duduk di atas kursi mirip singgasana raja sedang dikipas oleh
sejumlah bidadari. Mereka itu adalah istri-istrinya dan dia seperti
pengantin baru selamanya. “ Orang itu beruntung, kamipun tidak berani
menegurnya. Dia orang mulia waktu di dunia dulu.”
“Dan anda masih beruntung, tidak seperti itu”, sambil penjaga itu
menunjuk ke bawah. Aku menoleh ke bawah, di sana terlihat ada beberapa
orang yang dirantai kaki dan tangannya dan senantiasa dijaga oleh seekor
ular ‘galak’
“Beberapa waktu lagi anda masih menjalani pemeriksaan yang lebih teliti
berkaitan dengan amalan perbuatan anda. Akan dilihat bagaimana hasil
perhitngan nantinya.”
Tiba-tiba datang panggilan dari suatu sudut ruang yang memerintahkan
agar aku digiring ke suatu tempat untuk rekaman garis besar perbuatanku.
Di situlah aku baru tercengang hebat, ternyata lebih banyak pahalaku
yang hampir sebagian besar berbau riya’. Sesaat aku tertegun, tiba-tiba
satu bentakan keras terdengar dari belakang, “Hei ke sini kamu, kamu
ternyata riya!”
Saking kagetnya mendengar bentakan itu, sehingga aku iba-tiba terbangun
dari tidur yang teramat menyeramkan itu.
Begitu menyadari bahwa kejadian itu adalah mimpi semata, serta merta
“Alhamdulillah” gumamku. Ternyata aku masih diberi kesempatan hidup. Aku
berpikir, mimpi ini begitu nyata, apakah mungkin sebuah pengembalian
yang direkayasa. Oh…demikian panjang perjalanan sesaat ini, sampai
membuatku merasa lelah. Dalam hatiku berkata, “Seandainya boleh hidup
tak perlu tidur lagi, aku akan beribadah kepada Allah dengan ikhlas
tanpa sekelumit riya’ sedikitpun.”
Kontributor: Susiana Budiastuti Susiana.Budiastuti@snsgroup.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar