Ada sebuah ilustrasi yang menarik untuk kita renungkan bersama-sama,
karena jangan-jangan akibat kesibukan kita, kita masuk dalam kelompok
orang yang merugi, yaitu orang yang membuang-buang percuma sesuatu yang
paling berharga yang dimilikinya.
Jika ada seorang pemuda mendapat warisan banyak dari orang tuanya,
tetapi kemudian ia membelanjakannya tanpa perhitungan, bagaimana
pandangan kita? Pastilah kita akan menyayangkannya, dan menganggap
pemuda itu sebagai orang yang bodoh. Sekarang marilah kita perhatikan
diri kita; jangan-jangan kita lupa kalau kita sendiri pun tanpa
disadari, seringkali bersikap seperti yang dilakukan pemuda itu. Kita
acapkali menghabiskan modal yang paling bernilai yang kita miliki, hanya
untuk sesuatu yang sama sekali tidak berarti. Apakah modal manusia yang
paling bernilai? Tidak diragukan lagi, itulah usia! Bukankah umur
merupakan modal yang paling besar bagi manusia?
Bila kita perhatikan dengan cermat, manusia itu pada hakikatnya adalah
pengendara di atas punggung usia. Ia menempuh perjalanan hidupnya,
melewati hari demi hari, menjauhi dunia dan mendekati liang kubur. Dalam
hal ini ada seorang bijak yang mengutarakan keheranannya “Aku heran
terhadap orang yang menyambut dunia yang sedang pergi meninggalkannya,
tetapi malahan berpaling dari akhirat yang sedang berjalan menuju
kepadanya”
Kadang-kadang kita heran juga dengan sikap kita sendiri. Kenapa kita
mudah menangis bila harta benda kita berkurang atau hilang, tapi
sebaliknya tidak pernah menangis bila usia kita yang berkurang? Bukankah
tidak ada yang lebih bernilai bagi manusia selain usianya? Ironisnya
lagi, kehilangan usia ini malah kita rayakan dengan sesemarak mungkin
dan menghabiskan biaya yang cukup besar. Barangkali inilah satu-satunya
kebodohan manusia yang bersifat universal, yaitu merayakan dengan meriah
kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya. Padahal semua
orang mengerti, bahwa yang hilang ini benar-benar menguap dan tidak akan
pernah menjadi milik kita lagi atau kembali lagi kepada kita.
Saudaraku…..ada lagi yang aneh pada diri kita, yaitu kita mau berjuang
mati-matian mengerahkan seluruh daya dan potensi yang ada untuk
mendapatkan sesuatu yang belum pasti kita peroleh; sementara untuk hal
yang sudah pasti terjadi, kita hadapi dengan usaha yang sekedarnya saja.
Bukankah satu-satunya kepastian bagi manusia itu adalah hanya kematian?
Tidakkah kita sadari, bahwa sebenarnya kita semua sedang berkarya dalam
batas hari-hari yang pendek untuk hari-hari yang panjang? Lalu mengapa
kita selalu cenderung membangun istana duniawi, sedangkan istana akhirat
kita abaikan?
Bila kita sadar dengan tujuan keberadaan kita di dunia, maka pastilah
kita menjadikan usia sebagai sesuatu yang paling berharga. Ia lebih
mahal dari emas, intan berlian, atau batu mulia apapun. Oleh sebab itu,
ia harus digunakan seoptimal mungkin.
Ada perkataan seorang bijak yang sangat baik kita renungkan, katanya:
“Aku tidak menyesali sesuatu seperti penyesalanku terhadap tenggelamnya
matahari, yang berarti umurku berkurang, akan tetapi amal shalihku tidak
bertambah”
Mengapa kita biarkan umur kita berlalu begitu saja tanpa melakukan
sesuatu yang berarti? Apakah sudah demikian parahnya kebodohan kita,
sehingga rela menghabiskan modal yang paling bernilai untuk sesuatu yang
tidak bernilai? Bukankah kita harus mempertanggungjawabkan setiap menit
yang berlalu? Al-Mu’minun:115 menegaskan hal ini: “Apakah kamu sekalian
mengira, bahwa Kami menciptakan kamu sia-sia dan kepada Kami kamu
tidak dikembalikan?”
Mudah-mudahan renungan ini mampu menggugah hati nurani kita, sehingga
kita tidak mau lagi membuang-buang umur dengan percuma, apalagi
bersukacita pada saat umur kita berlalu atau berkurang.
Kontributor: Agus Cahyana Agus.Cahyana@snsgroup.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar