Dullah Bukan Orang Miskin
Sebutlah Dulah meski bukan nama aslinya, memiliki satu istri dan dua
anak yang usianya masih kecil. Lengkap rasanya bentuk kebahagiaan yang
dimiliki oleh Dulah. Bekerja sebagai office boy pada suatu perusahaan
swasta di Kota Makassar. Ibukota propinsi Sulawesi Selatan mulai
berkembang pesat. Bangunan pertokoan mulai bermunculan di pinggir
jalan-jalan.
Hidupnya dilalui dengan rutinitas yang konstan. Pagi saat matahari baru
menampakkan cahaya, Dulah sudah bekutat dengan pakaian kotor yang
dicucinya. Sementara sang istri sibuk menanak nasi dan membersihkan
rumah. Dua anak karunia Tuhan tampak masih terlelap manis di kasur.
Pukul 7 pagi harus sudah ada di kantor, membersihkan setiap ruangan agar
tampak tetap nyaman.
Saat pagi, karyawan mulai berdatangan dan Dulah pasti mengumbar senyum,
menyapa sambil menanyakan hidangan minuman sesuai dengan permintaan. Mas
Dul … kopi kental gak pakai gula teriak satu orang karyawan penggemar
kopi bikinan Dulah.
Mulai jam 7 pagi sampai teng jam 5 sore tiada henti melayani semua
karyawan. Hampir tidak ada waktu istirahat sejenak. Mulai dari menerima
tamu, menyediakan minuman, membelikan makanan, disuruh fotocopy bahkan
sampai mengambil uang di bank. Dan semua itu Dulah kerjakan dengan
senang hati.
Jam 11.30, Dulah mulai keliling menghampiri setiap meja sambil membawa
kertas bekas dan pensil. Mencatat satu persatu pesanan makan siang.
Tidak semua orang memberikan uang pas sesuai dengan makanan yang
dipesan. Selesai beli makananu, uang kembalian pun disampaikan dengan
pas sesuai pesanan.
Bagaimana dengan jam pulang ? yup … Dulah pulang dari kantor gelombang
terakhir, artinya bukan jam 5 tetapi jam 6 malam baru bisa pulang. Yang
pasti setelah kondisi kantor sudah terlihat rapi. Tidak ada kertas
berserakan, tidak ada gelas kotor di atas meja. Kalaupun ada yang
ngelembur, sebelum pulang Dulah pasti menawarkan makanan atau minuman
kepada mereka.
Hari demi hari dilalui Dulah untuk memberikan pelayanan. Tiga hari ini
Dulah tidak masuk kerja. Ruangan kecil tempat Dulah biasa kerja yang
disebut pantry kelihatan kosong tapi semrawut. Gelas, piring, ceceran
makanan ada dimana-mana. Tidak ada yang memfotocopy dokumen, tidak ada
yang menbuatkan minuman, tidak ada yang disuruh ke bank, tidak ada yang
dimintai tolong untuk mengambilkan kertas, atau teman bicara dan curhat
di pantry. Intinya kondisi kantor bingung kalang kabut.
Anehnya, semua karyawan tidak ada yang mengetahui kondisi Dulah. Tidak
ada yang tahu dimana rumahnya. Mungkin ini salah satu ciri masyarakat
yang dikatakan modern. Kehidupan metropolis yang individualis. Dulah
sedang di rumah, menemani istrinya yang sakit keras. Merawat istri dan
kedua anaknya, mencuci pakaian, membersihkan rumah kontrakan.
Sudah tiga hari sakit istri Dulah tidak kunjung sembuh, obat flu yang
dibeli di warung rupanya kurang manjur. Oleh tetangganya disarankan agar
istri Dulah dibawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Dengan
diantar Ketua RT yang baik hati, Dulah membawa istrinya ke rumah sakit
untuk diperiksa. Opname, rawat inap begitu anjuran dokter yang
memeriksanya.
Karena tidak memiliki biaya, Dulah disarankan untuk mengurus kartu
miskin agar istrinya bisa tetap dirawat. Dua hari, Dulah mondar mandir
untuk mengurus kartu miskin. Kartu miskin ini merupakan program
pemerintah melalui Departemen Kesehatan sebagai bentuk penyaluran dana
kompensasi bahan bakar minyak (BBM). Ternyata kartu miskin yang sangat
diharapkan oleh Dulah belum bisa keluar. Kartu Tanda Penduduk (KTP)
milik Dulah hilang entah kemana. Sebelum mendapatkan status miskin,
Dulah harus mengurus KTP terlebih dahulu.
Biaya harus dikeluarkan jika KTP ingin sehari jadi. Untuk menjadi miskin
ternyata tidak segampang yang saya bayangkan. Untuk menjadi miskin
ternyata susah. Untuk menjadi miskin ternyata masih memerlukan biaya.
Aneh … tatanan negara ini sudah aneh. Dulah memang miskin materi, tetapi
Dulah adalah cermin manusia yang kaya akan kasih sayang, kesabaran
Kontributor: Awal Moedzakir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar