Bila kita melakukan sesuatu yang baik dan orang memuji, lalu ada rasa
senang, maka itu tak apa. Rasa senang muncul bukan karena kehendak kita.
Rasa senang itu bagai belaian alam yang mengusap keringat kita;
mengubah butir-butirnya menjadi gula-gula pemanis. Namun bila kemudian
kita menikmatinya dan bekerja demi memperoleh kesenangan dari pujian
itu, maka itu mara. Itu petaka, saat itu kita telah kehilangan kebebasan
dalam berkebaikan. Kita seolah bekerja keras agar orang lain puas,
padahal gelisah menanti ceceran remah-remah sanjungan. Jangan demikian,
jangan timbang keberhasilan kita dari seberapa tinggi salut orang lain
pada kita.
Seluruh bakat kita adalah anugrah Allah Subhanahu wata'ala, maka
kembalikan ia pada NYa. Lepaskan itu sebagaimana kita melepaskan
rajawali. Seperti kata pujangga bahwa rajawali milik langit, biarkan dia
ditelan langit.
Menahan agar emosi tak terbakar oleh sepatah makian mungkin terasa
sulit. Namun, jauh lebih sulit menahan kerusakan diri akibat sebuah
sanjungan yang kita telan mentah-mentah. Bagaikan memar yang terbungkus
es, sakit pun tak terasa, namun kerusakan jaringan tetap ada disana.
Bila kita tak segera mengobatinya, tubuh yang sehat lambat laun
membusuk. Daya hancur sanjungan tak jauh beda dari itu. Bila makian
dapat menghilangkan kesadaran seketika, sanjungan membius secara
perlahan dan lembut. Di balik nikmat sejuk sebuah pujian, tersembunyi
memar yang memakan kelak, memakan habis kesadaran kita.
Berhati-hatilah dengan setiap pujian, sanjungan dan kehormatan yang kita
terima. Karena itu suatu cobaan bagi kita.
Kontributor: Ervi Yusria Iim.Imadudin@snsgroup.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar