Ada sebuah kisah, bahwa seorang saleh zaman dulu, pernah meletakkan batu
nisan di depan pintu rumahnya. Tujuannya tak ada lain hanyalah agar
setiap saat ia bisa mengingat kematian. Itu tentu wajar -wajar saja,
sebab datangnya ajal adalah sebuah kepastian, dan tak ada satu mahlukpun
yang mengetahuinya.
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang
apabila telah datang ajalnya. Dan Allah maha mengtahui apa yang kamu
kerjakan. (QS 63:11)
Dan dalam perjlanan hidup saya, saya tidak harus meletakkan batu nisan
di depan pintu rumah saya. Kalau berpikir ke belakang sana, sudah sangat
sering sebenarnya saya diingatkan tentang hal tersebut. Hal-hal yang
seharusnya saya lebih waspada dan cepat-cepat berbuat amal kebaikan.
Sebelum kematian menjemput saya.
Ketika saya berumur sepuluh tahun, adik yang sangat saya sayangi, adik
yang selalu saya gendong ke sana ke mari kalau ibu saya memasak atau ke
kebun, dipanggil oleh Allah Subhanahu wata'ala. Masuk SMP, kembali Allah
mengingatkan saya, dengan meninggalnya bapak saya, yang baru berusia
40-an. Umur yang masih sangat produktif, dan saya masih sangat
membutuhkan pendidikan darinya.
Setelah meninggalnya bapak saya, saya jadi sering sekali pergi ke
kuburan untuk menziarahi makamnya. Atau saya sangat sering pergi ke
tempat tersebut, karena saya sering ikut menggali kubur kalau saudara
atau tetangga saya meninggal.
Dewasa sedikit, saya lebih sering masuk ke liang lahat, untuk
menghadapkan wajah sang mayat ke kiblat, sebelum ditimbun dengan tanah.
Saya sering sekali melihat wajah-wajah terakhir orang yang mau
menghadap-Nya. Atau saya sering sekali diajak oleh mudin, orang yang
mengurusi tentang kematian di kampung untuk menjadi asistennya. Saya
membantu mempersiapkan kain kafan, ikut memandikan jika mayatnya
laki-laki dan sekaligus ikut membantu membungkusnya.
Sebelum saya berangkat merantau ke Brunei, saya banyak dihubungi
tokoh-tokoh masyarkat desa saya, agar saya jangan merantau lagi. Mereka
menginginkan saya agar jadi Kaur Kesra, Kepala Urusan Kesejahteraan
Rakyat. Yaitu suatu struktur organisasi desa yang mengurusi tentang
kesejahteraan rakyat, pernikahan dan sekaligus tentang urusan kematian.
Tapi saya menolak dengan sopan. Saya merasa masih terlalu muda untuk
mengurusi hal kemasyarakatan, dan lebih menghormati senior saya, tentu
yang ilmu agamanya lebih dari saya.
Dan hari-hari ini, alhamdulillah, Allah masih sayang kepada saya, bahwa
di perantauan inipun Allah memberikan pekerjaan dengan sesuatu yang
berhubungan dengan kematian. Setiap hari, kalau saya membuat mie putih
ala Cina, saya harus mencuci kain putih sepanjang lima meter. Kain yang
selalu mengingatkan saya kepada pembungkus mayat. Dan Kalau saya membuat
tahu, juga saya selalu berhadapan dengan kain putih untuk menyaring
susu kedele. Dan tentu saja ini juga mengingatkan saya kepada benda yang
akan dibawa jika kelak kita meninggal dunia.
Saya meraba diri saya, dengan mengingat perbuatan selama hidup saya ini.
Saya mencoba bercermin dengan para salafus shalih, sudah sejauh manakah
jejak mereka yang saya laksanakan. Dan sudah sejauh mana kelayakan saya
jika menghadap-Nya.
Otak saya terus bergerilya. Walaupun otak saya tidak secerdas seperti
para penerima beasiswa, apalagi deretan ilmuwan fisika dan para penerima
hadiah Nobel, seperti Newton misalnya, tapi mudah-muahan Allah
memasukan saya kepada deretan orang-orang cerdas menurut kacamata
khatamul ambiya, Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam. Yang selalu
mengingat akan datangnya kematian. Itulah yang tak henti-hentinya saya
mohonkan pada-Nya.
Semoga Bermanfaat Buat Kita Yang masih Hidup
Kontributor: Dewa Inskari Dewa.Putra@snsgroup.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar