Rabu, 01 Agustus 2012

Bung Karno

Bung  Karno
June - 5 - 2012
bung-karno
Yus Ariyanto
Bagaimana memosisikan seorang Sukarno? Negarawan? Diktator? Saya membuka lagi Catatan Subversif, kumpulan catatan harian Mochtar Lubis saat dibui di masa Orde Lama tanpa pernah diadili. Ia memimpin koran Indonesia Raya yang gencar melancarkan kritik kepada pemerintah, terutama terkait maraknya korupsi dan salah kelola negara.
Pada Desember 1958, Mochtar mendengar kabar, Sukarno setuju tahanan-tahanan politik lain dibebaskan. Kecuali, dirinya. Mochtar pun meradang. ”Wah, ini Sukarno kiranya sudah jadi  Firaun apa? Bung Karno kurang pikir kedudukannya dalam sejarah nanti. Dia akan dicatat pemimpin yang mula-mula bersetia pada demokrasi, lantas kemudian mencoba untuk merusak demokrasi di Indonesia,” tulisnya.
Sukarno menginsafi kontroversi dalam dirinya. Ia bilang, tak ada seorang pun dalam peradaban modern yang menimbulkan tabrakan dahsyat gelombang pro dan kontra seperti dirinya. “Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet….Aku bisa menjebloskan musuh-musuh negara ke belakang jerajak besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung dalam sangkar,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Sukarno lahir pada 6 Juni 1901 di Blitar, Jawa Timur. Ayahnya adalah Raden Sukemi Sosrodiharjo. Dari nama itu tergambar, Sukemi merupakan priyayi. Ibu Sukarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai, perempuan Bali berkasta brahmana. Saat dilahirkan, ia diberi nama Kusno Sosro Sukarno. Setelah pulih dari sakit di masa kanak, hanya kata ketiga dari nama tersebut yang disisakan.
Kelas sosial yang lumayan tinggi memungkinkannya masuk Technische Hoogeschool di Bandung pada 1921. Ia sejatinya bisa memilih belajar saja dan lulus untuk menjadi bagian dari birokrasi kolonial atau pegawai swasta. Sukarno justru menggeluti dunia pergerakan yang membuatnya mesti masuk penjara, bahkan dibuang ke luar Jawa.
Pada 1945, lima hari sebelum ulang tahunnya ke-44, Sukarno menyampaikan pidato di hadapan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kini, 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Relevansi isi pidato itu sendiri melesat jauh, melintasi waktu sampai hari ini. Bernas, menggugah, dan visioner. Ini nukilannya:
Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?”
 “Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua.” Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan…”
Pada 6 Juni ini, jika masih hidup, Sukarno akan merayakan ulang tahun ke-111. Ia adalah Bapak Bangsa yang sungguh berjasa meski (seperti semua manusia) bukan tanpa dosa. Termasuk, kegagalan dalam memimpin pengelolaan ekonomi Indonesia di tahun-tahun terakhir kekuasaannya.
Saya ingin menutup dengan mengutip Mohammad Hatta, yang mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1956 karena berselisih paham dengan Sukarno. Dalam Demokrasi Kita (1960), Hatta menulis, “Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal…Tjuma, berhubung tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala tjiptaannya ia memandang garis besarnja sadja. Hal-hal yang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannja.”
Selamat Ulang Tahun, Bung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar