Rabu, 01 Agustus 2012

Oleh-oleh Dari Alam Kubur

Oleh-oleh Dari Alam Kubur

Diambil dari Buku “Beo Berceloteh : Tuhan Seperti Aku” karangan A.H. Dabana Dalam kisah ini kuberi nama diriku sebagai ‘Aku’. Cerita bermula pada suatu malam, aku pulang agak larut dari silaturahmi di rumah kawan. Malam terasa agak aneh, bulu kuduk keseringan bergidik. Perlahan-lahan ada orang yang menghadang di tengah jalan. Kelihatannya sih orang baik-baik. Tetapi ketika berhadapan langsung, ternyata ia seorang pria yang cukup simpatik. Anehnya, setiap melihat matanya, bulu kuduk selalu berdiri. Mungkinkah siluman hantu, atau malakalamaut yang menyamar jadi manusia. Peristiwa ini agak aneh. Rasa-rasanya, kejadian seperti ini sudah kualami sebanyak 3 kali sebelumnya. Ini yang keempat. Orang-orang angker meski wajahnya ramah menawan, diajak berbicarapun mereka enggan menjawab. Keempat orang-orang ini wajahnya berbeda, tetapi sama simpatiknya. Yang anehnya lagi aku tidak pernah bisa menceritakan peristiwa ini kepada orang lain, sehingga hanya aku saja yang mengetahuinya. Jika kuhitung-hitung, kedatangan keempat orang tersebut beraturan lamanya. Kira-kira 40 hari muncul sekali. Ini adalah malam yang pertama setelah 40 hari telah berlalu. Kira-kira, 40 hari berikutnya mungkin ia akan datang lagi menemuiku, demikian dalam benakku. Setelah malam itu, hidupku terasa hampa tanpa tujuan lagi. Kadang-kadang aku merasa tidak berpikir dalam bertindak, berangkat dari rumah ke tempat kerja seperti ditiup angin saja. Benar-benar seperti kekosongan pikiran. Shalat yang kukerjakan mirip seperti orang yang dibimbing, yang searti dengan kata bukan kemauan sendiri, meski masih ada memori yang mengingatkan tibanya waktu shalat. Gejala sakit apa ini? Demikian dalam benakku. Tujuh hari menjelang hari 40 yang kunanti itu, banyak sekali tamu yang datang berkunjung ke rumahku. Mereka layaknya orang yang khidmat penuh kedukaan, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang menegurku, hanya aku tahu dalam hati bahwa mereka adalah tamu untukku. Ketika tiba hari yang ke 40, pagi hari terasa seperti lebih terang tidak biasanya. Rombongan tamu-tamu yang menungguku sejak seminggu lalu masih ada di ruang tamu. . Tiba-tiba ada ketukan pintu yang samar, tapi kenapa aku sendiri yang mendengarnya. Lalu aku terbangun, tetapi kiranya orang yang mengetuk pintu rumah tadi sudah berada di pintu kamar. Seketika melihat wajahnya, seketika itu pula badanku gemetar tak kuasa digerakkan sedikitpun. Dalam hati ingin rasanya lari menjauh, Karena yang datang ini adalah pembunuh. Semua orang kelak pasti mengenalnya. Ketika ia tahu aku meronta, ia perlahan mendekati dan berkata, “Kau sudah masanya tinggal di bumi ini. Izinkan aku mengantarmu pulang. Bolehkah?” Aku tidak dapat berkata apa-apa. Tetapi di benakku masih ada sesuatu yang mengganjal, yaitu tiga orang anakku yang masih kecil-kecil.. Tiba-tiba, orang itu berkata lagi agak keras, “Lupakan itu, tinggalkan saja.” Ketika ia selesai mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba aku mengerti sesuatu yang entah siapa yang membisikkan. Bahwa “Itu hanya akan membuatmu sakit bila roh dicabut.” Lalu akupun menurut, dan mencoba melupakannya. Sesaat kemudian orang tersebut sudah berada di atas kepala sekitar ubun-ubun. Kurasa dia inilah yang dinamakan Malakalamaut. Tiba-tiba tubuhku seperti ditarik, diperas, seperti dibuat memendek dari ujung kaki ke atas. Saat itu seluruh tubuh seperti disayat dengan silet tajam. Semakin kucoba menahan tarikan itu agar jangan terlepas, semakin sakit rasanya. Jika kutahan, orang itu membentak, akhirnya tiada daya kecuali pasrah merelakan. Sesaat kemudian, aku melihat diriku terkulai di ranjang seperti tertidur pulas. Terlihat anak-anak dan istriku sedang mengerumuni dan menangisi diriku yang sedang tertidur pulas. Bila kuperhatikan, aku seperti tidak percaya bahwa yang tertidur itu adalah jasadku sendiri. Beberapa waktu kemudian, terlihat rombongan orang mengantar mayat itu ke kuburan. Perlahan mayat itu dibenamkan ke dalam tanah dan diurug rapat-rapat kemudian diberi nisan. Jelas sekali di nisan itu tertera namaku. Saat itu aku baru yakin seyakin-yakinnya, bahwa aku sudah mati kini. Selama mengikuti rombongan pengantar mayat itu aku ditemani oleh dua ‘orang’. Entah siapa mereka. Ketika rombongan itu sudah pulang semuanya, kini giliranku disuruh masuk ke dalam kuburan itu. Sesaat kemudian, tiba-tiba yang terlihat hanyalah ruangan kuburan yang tidak sempit tetapi tidak pula terlalu luas. Pertanyaan dalam kubur mulai dilontarkan, persis seperti dengan cerita guruku waktu di dunia dulu.. Tapi kali ini yang menanyai diriku tidak terlampau seram, cara bertanyanya juga biasa-biasa saja. Kupikir wajar, sebab dulu waktu di dunia aku ini tidak banyak bertingkah, cukup rajin shalat, puasa bila tiba masanya dan banyak lagi perbuatan baik yang aku lakukan. Aku merasa perlakuan Malaikat Munkar Nakir ini seperti tahu persis kelakuanku waktu di dunia dulu. Setelah pertanyaan itu selesai, pintu-pintu dalam kubur mulai terkuak. Sepertinya bukan tempat penantian yang menyiksa, hanya saja terdapat keterbatasan bergerak atau berbuat sesuatu. Ketika hal itu kutanyakan pada petugas yang ada dalam kubur, mereka menjawab,”Meski anda dulunya taat beribadah tetapi anda kurang ikhlas dan terkesan riya’. Makanya anda diperlakukan seperti itu di tempat ini. Coba kalau anda beribadah semata ikhlas karena Allah, tempat anda seperti itu”, sambil penjaga itu menunjuk ke belakang. Ketika aku menoleh, ternyata di sana ada seorang pria yang duduk di atas kursi mirip singgasana raja sedang dikipas oleh sejumlah bidadari. Mereka itu adalah istri-istrinya dan dia seperti pengantin baru selamanya. “ Orang itu beruntung, kamipun tidak berani menegurnya. Dia orang mulia waktu di dunia dulu.” “Dan anda masih beruntung, tidak seperti itu”, sambil penjaga itu menunjuk ke bawah. Aku menoleh ke bawah, di sana terlihat ada beberapa orang yang dirantai kaki dan tangannya dan senantiasa dijaga oleh seekor ular ‘galak’ “Beberapa waktu lagi anda masih menjalani pemeriksaan yang lebih teliti berkaitan dengan amalan perbuatan anda. Akan dilihat bagaimana hasil perhitngan nantinya.” Tiba-tiba datang panggilan dari suatu sudut ruang yang memerintahkan agar aku digiring ke suatu tempat untuk rekaman garis besar perbuatanku. Di situlah aku baru tercengang hebat, ternyata lebih banyak pahalaku yang hampir sebagian besar berbau riya’. Sesaat aku tertegun, tiba-tiba satu bentakan keras terdengar dari belakang, “Hei ke sini kamu, kamu ternyata riya!” Saking kagetnya mendengar bentakan itu, sehingga aku iba-tiba terbangun dari tidur yang teramat menyeramkan itu. Begitu menyadari bahwa kejadian itu adalah mimpi semata, serta merta “Alhamdulillah” gumamku. Ternyata aku masih diberi kesempatan hidup. Aku berpikir, mimpi ini begitu nyata, apakah mungkin sebuah pengembalian yang direkayasa. Oh…demikian panjang perjalanan sesaat ini, sampai membuatku merasa lelah. Dalam hatiku berkata, “Seandainya boleh hidup tak perlu tidur lagi, aku akan beribadah kepada Allah dengan ikhlas tanpa sekelumit riya’ sedikitpun.” Kontributor: Susiana Budiastuti Susiana.Budiastuti@snsgroup.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar